Pihak yang terlibat: Indonesia
Belanda
Lokasi: Papua Barat
Tanggal: 19 Desember 1961 - 15 Agustus 1962
Casus Bell: Indonesia & Belanda memperebutkan Papua bagian Barat
Hasil: Papua Barat menjadi milik Indonesia
Komandan (Indonesia): Soekarno
Soeharto
Komandan (Belanda): -
Kekuatan: (Indonesia): Tidak Diketahui
Kekuatan (Belanda): Tidak Diketahui
Jumlah korban (Indonesia): Tidak diketahui
Jumlah korban (Belanda): Tidak diketahui
Operasi Trikora, juga disebut
Pembebasan Irian Barat, adalah konflik
2 tahun yang dilancarkan
Indonesia untuk menggabungkan wilayah
Papua bagian barat. Pada tanggal
19 Desember 1961,
Soekarno (
Presiden Indonesia) mengumumkan pelaksanaan
Trikora di Alun-alun Utara
Yogyakarta. Soekarno juga membentuk
Komando Mandala.
Mayor Jenderal Soeharto diangkat sebagai
panglima. Tugas komando ini adalah merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan
operasi militer untuk menggabungkan Papua bagian barat dengan Indonesia.
Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada
17 Agustus 1945, Indonesia mengklaim seluruh wilayah
Hindia Belanda, termasuk
wilayah barat Pulau Papua. Namun demikian, pihak
Belanda menganggap wilayah itu masih menjadi salah satu
provinsi Kerajaan Belanda. Pemerintah Belanda kemudian memulai persiapan untuk menjadikan Papua negara merdeka selambat-lambatnya pada tahun
1970-an. Namun pemerintah Indonesia menentang hal ini dan Papua menjadi daerah yang diperebutkan antara Indonesia dan Belanda. Hal ini kemudian dibicarakan dalam beberapa pertemuan dan dalam berbagai forum internasional. Dalam
Konferensi Meja Bundar tahun
1949, Belanda dan Indonesia tidak berhasil mencapai keputusan mengenai Papua bagian barat, namun setuju bahwa hal ini akan dibicarakan kembali dalam jangka waktu
1 tahun.
Pada bulan Desember
1950,
PBB memutuskan bahwa Papua bagian barat memiliki hak merdeka sesuai dengan pasal 73e
Piagam PBB. Karena Indonesia mengklaim Papua bagian barat sebagai daerahnya, Belanda mengundang Indonesia ke
Mahkamah Internasional untuk menyelesaikan masalah ini, namun Indonesia menolak. Setelah Indonesia beberapa kali menyerang Papua bagian barat, Belanda mempercepat program pendidikan di Papua bagian barat untuk persiapan kemerdekaan. Hasilnya antara lain adalah sebuah akademi angkatan laut yang berdiri pada
1956 dan tentara Papua pada
1957. Sebagai kelanjutan, pada
17 Agustus 1956 Indonesia membentuk Provinsi Irian Barat dengan ibukota di
Soasiu yang berada di Pulau
Tidore, dengan gubernur pertamanya,
Zainal Abidin Syah yang dilantik pada tanggal
23 September 1956.
Pada tanggal
6 Maret 1959, harian
New York Times melaporkan penemuan
emas oleh pemerintah Belanda di dekat
laut Arafura. Pada tahun
1960,
Freeport Sulphur menandatangani perjanjian dengan Perserikatan Perusahaan Borneo Timur untuk mendirikan tambang
tembaga di
Timika, namun tidak menyebut kandungan emas ataupun tembaga.
Persiapan
Militer
Indonesia mulai mencari bantuan senjata dari luar negeri menjelang terjadinya konflik antara Indonesia dan Belanda. Indonesia mencoba meminta bantuan dari Amerika Serikat, namun gagal. Akhirnya, pada bulan
Desember 1960, Jendral
A. H. Nasution pergi ke
Moskwa,
Uni Soviet, dan akhirnya berhasil mengadakan perjanjian jual-beli senjata dengan pemerintah Uni Soviet senilai 2,5 miliar
dollar Amerika dengan persyaratan pembayaran jangka panjang. Setelah pembelian ini,
TNI mengklaim bahwa Indonesia memiliki angkatan udara terkuat di belahan bumi selatan.
[1] Amerika Serikat tidak mendukung penyerahan Papua bagian barat ke Indonesia karena
Bureau of European Affairs di
Washington, DC menganggap hal ini akan "menggantikan penjajahan oleh kulit putih dengan penjajahan oleh kulit coklat". Tapi pada bulan April
1961, Robert Komer dan McGeorge Bundy mulai mempersiapkan rencana agar PBB memberi kesan bahwa penyerahan kepada Indonesia terjadi secara legal. Walaupun ragu, presiden
John F. Kennedy akhirnya mendukung hal ini karena iklim
Perang Dingin saat itu dan kekhawatiran bahwa Indonesia akan meminta pertolongan pihak
komunis Soviet bila tidak mendapat dukungan AS.
Indonesia membeli berbagai macam peralatan militer, antara lain 41
Helikopter MI-4 (angkutan ringan),
9 Helikopter
MI-6 (angkutan berat),
30 pesawat jet MiG-15, 49 pesawat buru sergap
MiG-17,
10 pesawat buru sergap
MiG-19,
20 pesawat pemburu
supersonik MiG-21,
12 kapal selam kelas
Whiskey, puluhan korvet, dan 1 buah
Kapal penjelajah kelas Sverdlov (yang diberi nama sesuai dengan wilayah target operasi, yaitu
KRI Irian). Dari jenis pesawat pengebom, terdapat sejumlah 22 pesawat pembom ringan
Ilyushin Il-28, 14 pesawat pembom jarak jauh
TU-16, dan 12 pesawat TU-16 versi maritim yang dilengkapi dengan persenjataan
peluru kendali anti kapal (rudal)
air to surface jenis
AS-1 Kennel. Sementara dari jenis pesawat angkut terdapat 26 pesawat angkut ringan jenis
IL-14 dan AQvia-14, 6 pesawat angkut berat jenis
Antonov An-12B buatan
Uni Soviet dan 10 pesawat angkut berat jenis
C-130 Hercules buatan Amerika Serikat.
Diplomasi
Indonesia mendekati negara-negara seperti
India,
Pakistan,
Australia,
Selandia Baru,
Thailand,
Britania Raya,
Jerman, dan
Perancis agar mereka tidak memberi dukungan kepada Belanda jika pecah perang antara Indonesia dan Belanda. Dalam
Sidang Umum PBB tahun 1961, Sekjen PBB
U Thant meminta
Ellsworth Bunker, diplomat dari Amerika Serikat, untuk mengajukan usul tentang penyelesaian masalah status Papua bagian barat. Bunker mengusulkan agar Belanda menyerahkan Papua bagian barat kepada Indonesia melalui PBB dalam jangka waktu 2 tahun.
Ekonomi
Pada tanggal
27 Desember 1958, presiden
Soekarno mengeluarkan UU nomor 86 tahun 1958 tentang
nasionalisasi semua perusahaan Belanda di Indonesia. Perusahaan-perusahaan yang dinasionalisasi seperti:
- Perusahaan Perkebunan
- Netherlansche Handels Mattscapij
- Perusahaan Listrik
- Perusahaan Perminyakan
- Rumah Sakit (CBZ) manjadi RSCM
Dan kebijakan-kebijakan lain seperti:
- Memindahkan pesar pelelangan tembakau Indonesia ke Bremen (Jerman Barat)
- Aksi mogok buruh perusahaan Belanda di Indonesia
- Melarang KLM (maskapai penerbangan Belanda) melintas di wilayah Indonesia
- Melarang pemutaran film-film berbahasa Belanda
Konflik bersenjata
Soekarno, Presiden Indonesia yang mencetuskan Trikora
Soekarno membentuk Komando Mandala, dengan Mayjen Soeharto sebagai Panglima Komando. Tugas komando Mandala adalah untuk merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi militer untuk menggabungkan Papua bagian barat dengan Indonesia. Belanda mengirimkan kapal induk
Hr. Ms. Karel Doorman ke Papua bagian barat. Angkatan Laut Belanda (
Koninklijke Marine) menjadi tulang punggung pertahanan di perairan Papua bagian barat, dan sampai tahun
1950, unsur-unsur pertahanan Papua Barat terdiri dari:
- Koninklijke Marine (Angkatan Laut Kerajaan Belanda)
- Korps Mariniers
- Marine Luchtvaartdienst[2]
Keadaan ini berubah sejak tahun 1958, di mana kekuatan militer Belanda terus bertambah dengan kesatuan dari
Koninklijke Landmacht (Angkatan Darat Belanda) dan
Marine Luchtvaartdienst. Selain itu,
batalyon infantri
6 Angkatan Darat merupakan bagian dari Resimen Infantri
Oranje Gelderland yang terdiri dari
3 batalyon yang ditempatkan di
Sorong,
Fakfak,
Merauke,
Kaimana, dan
Teminabuan.
[2]
Operasi-operasi Indonesia
Sebuah operasi rahasia dijalankan untuk menyusupkan sukarelawan ke Papua bagian barat. Walaupun Trikora telah dikeluarkan, namun misi itu dilaksanakan sendiri-sendiri dalam misi tertentu dan bukan dalam operasi bangunan.
Hampir semua kekuatan yang dilibatkan dalam Operasi Trikora sama sekali belum siap, bahkan semua kekuatan udara masih tetap di Pulau
Jawa. Walaupun begitu,
TNI Angkatan Darat lebih dulu melakukan penyusupan sukarelawan, dengan meminta bantuan
TNI Angkatan Laut untuk mengangkut pasukannya menuju pantai Papua bagian barat, dan juga meminta bantuan
TNI Angkatan Udara untuk mengirim 2 pesawat Hercules untuk mengangkut pasukan menuju target yang ditentukan oleh TNI AL.
Misi itu sangat rahasia, sehingga hanya ada beberapa petinggi di markas besar TNI AU yang mengetahui tentang misi ini. Walaupun misi ini sebenarnya tidaklah rumit, TNI AU hanya bertugas untuk mengangkut pasukan dengan pesawat Hercules, hal lainnya tidak menjadi tanggung jawab TNI AU.
Kepolisian Republik Indonesia juga menyiapkan pasukan
Brigade Mobil yang tersusun dalam beberapa resimen tim pertempuran (RTP). Beberapa RTP Brimob ini digelar di kepulauan
Ambon sebagai persiapan menyerbu ke Papua bagian barat. Sementara itu Resimen Pelopor (unit parakomando Brimob) yang dipimpin Inspektur Tingkat I
Anton Soedjarwo disiagakan di Pulau Gorom. Satu tim Menpor kemudian berhasil menyusup ke Papua bagian barat melalui laut dengan mendarat di Fakfak. Tim Menpor ini terus masuk jauh ke pedalaman Papua bagian barat melakukan sabotase dan penghancuran objek-objek vital milik Belanda.
Pada tanggal
12 Januari 1962, pasukan berhasil didaratkan di Letfuan. Pesawat Hercules kembali ke pangkalan. Namun, pada tanggal
18 Januari 1962, pimpinan angkatan lain melapor ke Soekarno bahwa karena tidak ada perlindungan dari TNI AU, sebuah operasi menjadi gagal.
[3]
Pertempuran laut Aru
Pertempuran Laut Aru pecah pada tanggal
15 Januari 1962, ketika 3 kapal milik Indonesia yaitu
KRI Macan Kumbang,
KRI Macan Tutul yang membawa Komodor
Yos Sudarso, dan KRI
Harimau yang dinaiki Kolonel
Sudomo, Kolonel Mursyid, dan Kapten Tondomulyo, berpatroli pada posisi 4°49'
LS dan 135°02'
BT. Menjelang pukul 21:00
WIT, Kolonel Mursyid melihat tanda di
radar bahwa di depan lintasan 3 kapal itu, terdapat 2 kapal di sebelah kanan dan sebelah kiri. Tanda itu tidak bergerak, dimana berarti kapal itu sedang berhenti. Ketika 3 KRI melanjutkan laju mereka, tiba-tiba suara pesawat jenis Neptune yang sedang mendekat terdengar dan menghujani KRI itu dengan bom dan peluru yang tergantung pada parasut.
[3]
Kapal Belanda menembakan tembakan peringatan yang jatuh di dekat KRI Harimau. Kolonel Sudomo memerintahkan untuk memberikan tembakan balasan, namun tidak mengenai sasaran. Akhirnya, Yos Sudarso memerintahkan untuk mundur, namun kendali KRI Macan Tutul macet, sehingga kapal itu terus membelok ke kanan.
[3] Kapal Belanda mengira itu merupakan manuver berputar untuk menyerang, sehingga kapal itu langsung menembaki KRI Macan Tutul. Komodor Yos Sudarso gugur pada pertempuran ini setelah menyerukan pesan terakhirnya yang terkenal,
"Kobarkan semangat pertempuran".
Operasi penerjunan penerbang Indonesia
Pasukan Indonesia di bawah pimpinan Mayjen Soeharto melakukan operasi infiltrasi udara dengan menerjunkan penerbang menembus radar Belanda. Mereka diterjunkan di daerah pedalaman Papua bagian barat. Penerjunan tersebut menggunakan pesawat angkut Indonesia, namun operasi ini hanya mengandalkan faktor pendadakan, sehingga operasi ini dilakukan pada malam hari. Penerjunan itu pada awalnya dilaksanakan dengan menggunakan pesawat angkut ringan C-47 Dakota yang kapasitas 18 penerjun, namun karena keterbatasan kemampuannya, penerjunan itu dapat dicegat oleh pesawat pemburu Neptune Belanda.
[1]
Pada tanggal
19 Mei 1962, sekitar 81 penerjun payung terbang dari
Bandar Udara Pattimura,
Ambon, dengan menaiki pesawat Hercules menuju daerah sekitar Kota Teminabuan untuk melakukan penerjunan. Saat persiapan keberangkatan, komandan pasukan menyampaikan bahwa mereka akan diterjunkan di sebuah perkebunan teh, selain itu juga disampaikan sandi-sandi panggilan, kode pengenal teman, dan lokasi titik kumpul, lalu mengadakan pemeriksaan kelengkapan perlengkapan anggotanya sebelum masuk ke pesawat Hercules. Pada pukul 03:30 WIT, pesawat Hercules yang dikemudikan Mayor Udara T.Z. Abidin terbang menuju daerah Teminabuan.
Dalam waktu tidak lebih dari 1
menit, proses pendaratan 81 penerjun payung selesai dan pesawat Hercules segera meninggalkan daerah Teminabuan. Keempat mesin Allison T56A-15 C-130B Hercules terbang menanjak untuk mencapai ketinggian yang tidak dapat dicapai oleh pesawat Neptune milik Belanda.
[1]
TNI Angkatan Laut kemudian mempersiapkan
Operasi Jayawijaya yang merupakan operasi amfibi terbesar dalam sejarah operasi militer Indonesia.
[4] Lebih dari
100 kapal perang dan 16.000
prajurit disiapkan dalam operasi tersebut.
Akhir dari konflik
Karena kekhawatiran bahwa pihak komunis akan mengambil keuntungan dalam konfik ini, Amerika Serikat mendesak Belanda untuk berunding dengan Indonesia. Karena usaha ini, tercapailah persetujuan
New York pada tanggal
15 Agustus 1962. Pemerintah
Australia yang awalnya mendukung kemerdekaan Papua, juga mengubah pendiriannya, dan mendukung penggabungan dengan Indonesia atas desakan AS.
Persetujuan New York
Pada tanggal
15 Agustus 1962, perundingan antara Indonesia dan Belanda dilaksanakan di Markas Besar
PBB di
New York. Pada perundingan itu, Indonesia diwakili oleh
Soebandrio, dan Belanda diwakili oleh
Jan Herman van Roijen dan
C.W.A. Schurmann. Isi dari Persetujuan
New York adalah:
- Belanda akan menyerahkan pemerintahan Papua bagian barat kepada United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA), yang didirikan oleh Sekretaris Jenderal PBB. UNTEA kemudian akan menyerahkan pemerintahan kepada Indonesia.
- Bendera PBB akan dikibarkan selama masa peralihan.
- Pengibaran bendera Indonesia dan Belanda akan diatur oleh perjanjian antara Sekretaris Jenderal PBB dan masing-masing pemerintah.
- UNTEA akan membantu polisi Papua dalam menangani keamanan. Tentara Belanda dan Indonesia berada di bawah Sekjen PBB dalam masa peralihan.
- Indonesia, dengan bantuan PBB, akan memberikan kesempatan bagi penduduk Papua bagian barat untuk mengambil keputusan secara bebas melalui
- musyawarah dengan perwakilan penduduk Papua bagian barat
- penetapan tanggal penentuan pendapat
- perumusan pertanyaan dalam penentuan pendapat mengenai kehendak penduduk Papua untuk
- tetap bergabung dengan Indonesia; atau
- memisahkan diri dari Indonesia
- hak semua penduduk dewasa, laki-laki dan perempuan, untuk ikut serta dalam penentuan pendapat yang akan diadakan sesuai dengan standar internasional
- Penentuan pendapat akan diadakan sebelum akhir tahun 1969.
Pada tanggal
1 Mei 1963, UNTEA menyerahkan pemerintahan Papua bagian barat kepada Indonesia. Ibukota
Hollandia dinamai
Kota Baru, dan pada
5 September 1963, Papua bagian barat dinyatakan sebagai "daerah karantina". Pemerintah Indonesia membubarkan Dewan Papua dan melarang bendera Papua dan lagu kebangsaan Papua. Keputusan ini ditentang oleh banyak pihak di Papua, dan melahirkan
Organisasi Papua Merdeka (OPM) pada
1965. Untuk meredam gerakan ini, dilaporkan bahwa pemerintah Indonesia melakukan berbagai tindakan pembunuhan, penahanan, penyiksaan, dan pemboman udara. Menurut
Amnesty International, lebih dari 100.000 orang Papua telah tewas dalam kekerasan ini. OPM sendiri juga memiliki tentara dan telah melakukan berbagai tindakan kekerasan.
Penentuan Pendapat Rakyat
Pada tahun 1969, diselenggarakan
Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang diatur oleh Jenderal
Sarwo Edhi Wibowo. Menurut anggota OPM Moses Werror, beberapa minggu sebelum Pepera, angkatan bersenjata Indonesia menangkap para pemimpin rakyat Papua dan mencoba membujuk mereka dengan cara sogokan dan ancaman untuk memilih penggabungan dengan Indonesia.
[7][8]
Pepera ini disaksikan oleh dua utusan
PBB, namun mereka meninggalkan
Papua setelah 200 suara (dari 1054) untuk integrasi.
[9] Hasil PEPERA adalah Papua bergabung dengan Indonesia, namun keputusan ini dicurigai oleh Organisasi Papua Merdeka dan berbagai pengamat independen lainnya. Walaupun demikian, Amerika Serikat, yang tidak ingin Indonesia bergabung dengan pihak komunis
Uni Soviet, mendukung hasil ini, dan Papua bagian barat menjadi provinsi ke-26 Indonesia, dengan nama
Irian Jaya.
Setelah penggabungan
Patung di
Jakarta untuk merayakan "pembebasan" Papua barat.
Setelah Papua bagian barat digabungkan dengan Indonesia sebagai Irian Jaya, Indonesia mengambil posisi sebagai berikut:
- Papua bagian barat telah menjadi daerah Republik Indonesia sejak 17 Agustus 1945 namun masih dipegang oleh Belanda
- Belanda berjanji menyerahkan Papua bagian barat kepada Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar
- penggabungan Papua bagian barat dengan Indonesia adalah tindakan merebut kembali daerah Indonesia yang dikuasai Belanda
- penggabungan Papua bagian barat dengan Indonesia adalah kehendak rakyat Papua.
Hal ini diajarkan di sekolah dan ditulis dalam buku teks sejarah nasional.
[2][1]
Setelah Jendral Soeharto menjadi Presiden Indonesia,
Freeport Sulphur adalah perusahaan asing pertama yang diberi izin tambang dengan jangka waktu 30 tahun mulai dari tahun
1981 (walaupun tambang ini telah beroperasi sejak tahun
1972), dan kontrak ini diperpanjang pada tahun
1991 sampai tahun 2041. Setelah pembukaan
tambang Grasberg pada tahun
1988, tambang ini menjadi tambang
emas terbesar di dunia. Penduduk setempat dengan bantuan
Organisasi Papua Merdeka memprotes berbagai tindakan pencemaran lingkungan hidup dan pelanggaran
Hak Asasi Manusia yang dilakukan Freeport dan pemerintah Indonesia dengan berbagai cara, termasuk peledakan pipa gas dan penculikan beberapa pegawai Freeport dari
Eropa dan Indonesia pada tahun
1996. Dalam kejadian ini, 2 tawanan dibunuh dan sisanya dibebaskan.
Pada tahun
1980-an, Indonesia memulai gerakan
transmigrasi, di mana puluhan ribu orang dari pulau
Jawa dan
Sumatera dipindahkan ke provinsi Irian Jaya dalam jangka waktu 10 tahun. Penentang program ini mencurigai usaha Indonesia untuk mendominasi provinsi Irian Jaya dengan cara memasukkan pengaruh pemerintah pusat.
[10][11][12] Pada tahun
2000, presiden
Abdurrahman Wahid memberi
otonomi khusus kepada provinsi
Papua untuk meredam usaha
separatis. Provinsi ini kemudian dibagi dua menjadi provinsi:
Papua dan
Irian Jaya Barat (sekarang
Papua Barat) melalui instruksi Presiden
Megawati Soekarnoputri pada tahun
2001.